12 Desember 2018

Cerita Kami

It's been 4 months since we get married.



Masih inget Desember tahun lalu, saya memperkenalkan Nadhil kepada keluarga saya di sebuah restoran di Jakarta. Siapa yang nyangka bahwa dalam satu tahun ini status saya sudah berubah dari single jadi married. Dulu tiap kali ditanya kapan nikah, kayaknya sebel banget. Jadi super sensitif gitu. Bahkan pernah saya berfikir tidak mau pulang saat lebaran karena malas ditanyain kapan nikah. Muka saya bisa berubah 180 derajat jadi super sinis dan jutek kalo ada yang mulai membahas masalah jodoh. Sebel banget pokoknya. Bahkan dulu, saking pengennya dapat jodoh, saya beberapa kali melakukan kesalahan hanya untuk "feeling secured".

Memang kayaknya yang namanya asmara, merupakan bagian yang paling suram dalam hidup saya. Kayaknya gak jodoh aja gitu. Tiap kali suka sama orang, orangnya gak suka sama saya. Atau kebalikan, tiap ada yang suka saya, saya gak suka sama orangnya. Gitu aja terus gantian. Makanya dulu saya sampe muak dan gak mau fokus ke situ lagi biar gak kepikiran. 

Dulu awalnya deket sama Nadhil pun juga nothing to loose. Waktu itu dikenalin sama Odi, temen SMA yang juga teman kuliahnya Nadhil. Kalo gak salah itu di awal tahun 2017. Karena dia kerja di Papua, jadi gak intens komunikasinya. Untungnya kami berdua tipe yang santai aja gitu, jadi kalo lagi gak sibuk baru balas line, begitupun sebaliknya. Tipe yang di weekend malah ngilang, karena kami sama2 lagi me time, gak mau diganggu. Trus ajaibnya waktu itu roommate Nadhil, Enggar adalah teman SMA juga yang lagi deket sama Afin, salah satu temen dekatku. Jadi memang aneh aja bisa deket. 

Trus di bulan Juli, dia pengen jadi lebih serius. Tapi waktu itu saya mempertanyakan lagi kesiapannya. Karena menurut saya, hubungan itu tidak lagi hanya untuk sekedar dekat, tapi punya tujuan untuk menikah pada akhirnya. Di saat yang saya, saya memiliki kesempatan untuk pergi ke tanah suci. Di sana saya berdoa pada Allah. Jika memang dia jodoh yang terbaik bagi saya, maka mudahkanlah. Ternyata Oktober 2017, dia dipindah ke Jakarta. Pembicaraan terakhir pun menyatakan bahwa dia memang mau serius. Akhirnya, barulah saya mulai memperkenalkan dia dengan keluarga saya. Hal itu merupakan langkah besar bagi saya, karena jujur saya gak pernah bawa "cowok" untuk dikenalkan, jadi super nervous banget waktu itu.

Long story short, Allah benar-benar mempermudah niat kami. Awal tahun 2018, keluarganya datang ke rumah. Itu adalah pertama kalinya saya bertemu dengan keluarganya. Takut banget kalo misalnya keluarganya gak suka atau ada keberatan dengan hubungan kami. Alhamdulillah lancar, sehingga Maret pun langsung lamaran. Waktu itu lumayan panik, karena Nadhil mau berangkat S2 di Agustus akhir, jadi nikahnya harus di bulan Juli atau awal Agustus. Padahal kan kalo di Yogya cari gedung itu susah ya. Masih inget beberapa teman book gedung setahun sebelum. Tapi juga inget cerita Mei, teman SMA yang cari gedung H-2 bulan dan dapat. Mungkin itu namanya dimudahkan sama Allah ya, jadi akhirnya nemu gedung UMY yang kosong di tanggal 11 Agustus. Udah, cuma itu aja yang kosong, lainnya gak.

And here we are, 11 Agustus 2018 kami resmi menjadi suami istri. Bener-bener gak tau bahwa dalam waktu satu tahun ini, banyak kejadian yang saya alami. Bersyukur banget semua dimudahkan. Memang kita harus selalu berusaha dan berdoa. Karena rencana Allah selalu baik,


Cheers,
ZN


06 Desember 2018

The Power of Why - C. Richard Weylman

Reading this book, makes me reevaluate the way our marketing works. Is it already right??



Hello again, after few weeks off from blog, I thing it's the time to put another post about the book that I borrow from AADL library, "The Power of Why".

This book is a guidance of selling product based on Unique Value Promise rather than Unique Selling Proposition. In short, we should not advertise our product superiority, but touch the need of consumer and how our product will help the to solve it. I will start with the way I used to be selling the product. I think I always tell the consumer about the superiority of the product. How many DHA compare to other milk formula. What is our FOS GOS, and the fact that this is the only formula proven to help improve the immune, etc. So we focus on selling what is the product and force the consumer to think that they need it. While this book trying to find different approach to sell. 

In this book you need to focus on the customer wants, what they are doing, and what they want to accomplish. That will be our UVP, it is give by our customer. Why we need to do that? Because competition in the market is really though. If we do not distinct our company, what is the reason they choose you? Everyday there will be new company, new product, cheaper one, better one. And it makes the customer move to other brand easily. Loyalty to one brand is rare, so we need to be excellent to be the consumer choice.

According to that, the book suggest us to interview our customer and ask, "why they choose our company?" and dig deeper, because the obvious answer is not the answer. It is not about what the company do or best at, but why consumer need to choose our company. It need to be done in a private and one on one session. Not by email, or phone.

The book explain the detail and step by step of doing it. From prepare for the interview, crafting the UVP, get the UVP is spread through the organisation, marketing it, and how to exceed expectation in customer service. I think it is really thorough because the writer is a consulting. He is already help several company to run their business with UVP in mind.

Something that stroke into my mind is, having the concept of UVP is not easy. It need trial and error to understand the consumer. You cannot measure the satisfaction of your consumer just by reading the review in the site. Because usually it just said "Great" "Good" like a lip service you give to your boss when he asked about your life. Finding the route cost of why people buy our product and service and recreate it to get into the emotional state of consumer is the key for loyal consumer.

Another thing that I found is important is the way UVP is give to the all player in organisation. Although maybe UVP is created by sales and marketing department, the understanding and implementation cannot restricted into director only, but it need to be understand by all player in the organisation. Especially the first layer that contact with the consumer, for example is the waiter, cashier, or bellboy in the hotel. They need to deliver the UVP because it is what the company promise to give to consumer. No matter how good your UVP is, it will be worthless if you cannot execute it well. It can be a backfire if you fail to deliver it. You consumer can leave you.

Overall, I found this book is interesting to read. Give you a thought to think whether your way of marketing product is what consumer wants or not. And how can you improve it. Because if you doing it right, sales and profit will follow.


15 November 2018

Book Review- LEAN IN



I used to read a lot of book about self development in the past. But after I start working, I realised that I no longer read books because I just too busy to spare my time for reading. An excuse, I know. But since in here, I don't have a lot of things to do, I try to start reading again, and write in the blog to motivate me.

So, the first book that I read is Lean In by Sheryl Sandberg. I think this book speak about leadership for woman in organisation without censor. There are a lot of moment that she said and I experienced it before. It shows woman how to behave in work environment and how to step up your career. I regret that I know this book so late. I wish I know it before, when I still work in Danone. So, I would like to write down what I learn from this book and share. I suggest you to read this book. This is so good for career woman!

23 September 2018

After Life - Post Power Syndrome

Siapa yang pernah mendengar tentang post power syndrome? Awalnya saya selalu menggunakan kata ini untuk menyindir Bapak saya yang pensiun di awal tahun 2018 dari perusahaan. Setiap kali beliau mulai bossy, atau bingung gak ada kerjaan, saya selalu mengeluarkan kata tersebut dengan nada mengejek. Siapa sangka saat ini, 7 bulan selanjutnya, sayapun merasakan hal yang sama dengan beliau?

Hal ini dimulai setelah 2 minggu masa liburan dan beres2 di Ann Arbor berakhir. Dengan mulai masuknya suami kuliah, maka saya mulailah bingung apa yang harus saya lakukan untuk mengisi waktu luang. Mulai dari nyuci baju, nyetrika, nyapu, ngepel, siap2 masak sudah saya lakukan dan ternyata saya masih mempunyai banyak waktu yang bisa saya gunakan. Dengan adanya unlimited internet, mulailah saya menonton drama korea, drama jepang, reality show, youtube, namun lama-lama saya mulai bosan juga dengan hal itu. Saya merasa TIDAK PRODUKTIF! Ditambah lagi dengan terus berjalannya insta story teman-teman kantor, teman kuliah dan sekolah yang memperlihatkan aktifitas kerjanya, membuat saya menjadi INSECURE.

The worst case? Saya uring-uringan, marah-marah gak jelas sama suami, gampang mengeluh, bahkan juga menangis tiba-tiba. Jujur suami saya heran dan merasa serba salah. Saat dia berusaha memberi solusi atau berpendapat, saya menganggap kata-katanya jahat dan tidak berperasaan. Mulailah drama ngambek dan muka cemberut. Sampai akhirnya saya sadar bahwa, siapapun tidak bisa merubah perasaan yang saya rasakan ini. Saya harus memperbaikinya sendiri. Mulai berfikir, dan yak, mari menulis di blog.

30 Agustus 2018

Cara buat Visa USA for J2 #NZinMichigan

image from Google

Halo,, 

di post kali ini aku mau share sedikit tentang pengalaman aku apply visa US kemarin. Sebelumnya mau kasih tau status aku dan tujuan ke US nya. Jadi suami aku kebetulan dapat beasiswa untuk sekolah di University of Michigan, nah alhamdulillahnya aku ikut dong kan untuk nemenin pak suami. Jadi visa yang aku akan apply itu adalah visa J2, dependennya pemegang visa J1.

US itu punya berbagai macam visa. Ada Visa untuk turis, visa untuk kerja atau bisnis, juga ada visa untuk student. Visa pelajar juga ada macam-macam, ada visa B1, untuk yang short course, di mana bukan belajar untuk mengejar degree atau certificate academic. Selain itu yang umum juga ada visa J1 dan F1. Bedanya di mana? Bedanya kalo visa J1 itu yang sponsor untuk sekolah adalah pemerintah US atau pemerintah negara asalnya, sedangkan F1 itu lebih ke pribadi atau perusahan (beasiswa dari lembaga yang bukan pemerintahan). Masih ada beberapa perbedaan visa F1 dan J1, untuk informasi lebih lanjut bisa cek di sini

Intinya, suami saya dapat visa J1 karena dibiayai pemerintah, otomatis saya akan apply visa J2. Keuntungannya buat saya adalah visa J2 ini bisa dipake buat sekolah ataupun bekerja. Kalo visa F2 tidak boleh bekerja sama sekali. Yeay!!! Ini penting banget karena kalo gak, saya mau ngapain aja 1.5 tahun nemenin suami di sini? Bengong? Bisa mati kebosanan saya.

Lanjut yaaa.. jadi sebenernya semua hampir diurusin pak suami, saya tinggal terima beres. Tapi saya akan share sedikit ya yang saya lakukan untuk dapat visa ini. Jadi tahapannya sbb:

Welcome to United States #NZinMichigan

Sebagai orang yang lumayan punya rencana dalam hidup, kedatangan pria satu ini lumayan bikin hidup saya berubah arahnya. Tiba-tiba saat saya menulis ini, saya sedang berada di Ann Arbor, Michigan, US. I don’t know how life turns out.

Karena saya anaknya random, make saya berfikir untuk kembali mengaktifkan blog ini agar ada manfaatnya. Setelah lama sekali tidak post apapun. Sebenernya banyak banget kejadian yang bisa diceritakan, tapi mungkin pada post kali ini saya akan sedikit personal ya tentang kepindahan baru ini.

Jadi, tanggal 26 Agustus kemarin jam 6.15 pagi saya dan pak suami meninggalkan Indonesia tercinta. Tujuannya adalah United States, ceritanya saya nemenin suami untuk sekolah di University of Michigan. Perjalanan ke US itu ternyata panjang, 25 jam totalnya. Untuk kali ini saya dua kali transit di Narita, dan Chicago sebelum akhirnya sampai di Detroit.

Kurang lebih perjalanan saya kemarin seperti ini:
Jakarta > Narita : 7.5 jam perjalanan, waktu transit 2 jam
Narita > Chicago : 12 jam perjalanan, transit 2 jam
Chicago > Detroit : 1 jam perjalanan

Yang buat saya deg-degan itu sebenernya ketika di Chicago, karena kami harus melalui imigrasi, ambil bagasi, kemudian memasukkan bagasi lagi sebelum ke penerbangan selanjutnya. Kenapa deg-degan? karena biasanya kan proses di imigrasi itu lama, belum lagi sebelum berangkat saya kena banyak omongan dan wanti2 kalo saya bisa kena random check. Mengingat saya dari Indonesia dan menggunakan jilbab. Tapi alhamdulillahnya, saya bersyukur sekali ternyata ketakutan saya waktu itu tidak beralasan.

Entah mengapa saya merasa ini semua dimudahkan oleh Allah, mulai dari proses pembuatan visa (saya akan post mengenai ini di postingan selanjutnya), hingga wawancara imigrasi US. Pada saat di imigrasi, mereka tidak bertanya apapun, saya dan suami malah dikira kakak beradik, (apakah kami ini terlihat mirip? mungkin bagi orang US, semua orang asia terlihat mirip) setelah itu langsung disuruh memasukkan sidik jari dan pengambilan foto.

Pada saat memasuki imigrasi ini, jalur untuk visa sekolah dan visa kerja itu dibedakan dari jalur lainnya, sehingga bisa lebih cepat. Setelah melewati imigrasi, kami segera mengambil koper kami, dan melewati declaration. Nah, waktu itu saya agak panik, karena harus buru-buru check in lagi kan untuk penerbangan selanjutnya. Di pikiran saya, antri untuk masukin bagasi pada saat check in pasti akan ribet. Ternyata, oh ternyata, di sini itu setelah keluar dari terminal international, jika kita akan melanjutkan penerbangan gak perlu repot bawa bagasi lagi. Nanti setelah keluar dari terminal akan ada tim pekerja yang akan scan bagasi kita, dan dimasukkan ke dalam conveyor belt untuk segera dimasukkan ke pesawat tujuan. Canggih kan? Jadi kita tidak perlu bawa-bawa koper lari-lari ke terminal selanjutnya. Kebayang kan ribetnya kayak gimana kalo harus check in lagi.

Penerbangan kami selanjutnya adalah penerbangan domestik, jadi kami pindah ke terminal 2 naik kereta bandara. Setelah itu langsung check in. Nah, di USA ini ada badan yang intinya bertanggung jawab akan keamanan dalam transportasi, namanya TSA (Transportation Security Administration), jadi mereka yang akan scanning kita saat mau check in. Nah, lagi-lagi saya beruntung, karena bisa lolos tanpa masalah. Awalnya udah khawatir akan kena random check, ternyata yang kena malah bapak-bapak bule di depan saya. Jadi caranya, pas lagi lewat scan gtu, ada tulisan random check. Artinya siapapun yang lewat situ, harus mau diperiksa lebih lanjut. Jadi dipilihnya secara acak gtu, bukan karena seseorang pake jilbab misalnya. Alhamdulillah ya

Nah, agak random nih, mau bahas soal TSA dan koper

Jadi sebelum saya berangkat ini, saya berniat mau beli koper dengan teman saya, Dhea Laras. Waktu itu dalam pikiran saya, koper yang penting lucu, gede, muat banyak. Udah gtu aja. Tapi, sama Dhea saya diajarin cara milih koper yang tepat. Maklum, dia udah pernah sekolah di UK, jadi ada pengalaman. Koper versi Dhea yang bagus adalah

1. Sesuai besarnya 
(ini tergantung naik airlines apa), karena peraturan bagasi tiap airlines beda-beda. Saya naik ANA, jadi maksimal berat 1 koper itu 23 kg. Carilah koper yang tidak terlalu besar. Kemarin jadinya saya beli 28" dan itu gak perlu penuh udah 23 kg. haha..

2. Ringan,
Karena ada maksimum berat, maka pilihlah koper yang ringan. Kalo kopernya udah berat, maka isi barang kita cuma bisa jadi sedikit

3. Bannya four wheel
Kata Dhea, ini penting banget, terutama karena kita kan bawa koper sendiri, kalo four wheel gini, bawanya lebih gampang gak terlalu berat

4. TSA lock available
Nah ini yang nyambung sama bahasan TSA di atas. Jadi, kalo teman-teman perhatikan, saat ini di hampir semua koper itu ada TSA lock. Ini fungsinya buat apa sih? Jadi, TSA ini berguna saat kita masuk sebuah negara dan dia melakukan random checking terhadap bagasi kita. Jika kita menggunakan koper TSA lock, mereka bisa membuka koper kita melalui TSA lock tersebut. Tetapi jika tidak ada TSA locknya, mereka bisa membuka koper secara paksa.

Untuk daerah UK dan Eropa, jika mereka akan membuka koper, mereka wajib meminta ijin dan melakukan checking di hadapan pemiliknya. Jadi kalo gak TSA lock, sang pemilik bisa buka kopernya. Nah, beda dengan USA, di USA petugas dapat membuka koper tanpa harus ijin dengan pemiliknya, jadi kalo koper kita TSA lock, kita aman, dia bisa buka. Tapi kalo gak ada TSA lock nya, petugas US dapat merobek koper kita untuk mengecek isinya, dan itu gak akan diperbaiki. Kan parah ya. Makanya kata Dhea pilih koper harus ada TSA lock nya

Dan ini terbukti benar adanya...
jadi setelah saya sampai di hotel, dan membuka koper saya, saya menemukan sebuah kertas yang bertuliskan notice of baggage inspection, gambarnya kayak gini nih.



pada saat itu saya bersyukur kopernya TSA, kalo gak? udah hancur mungkin koper saya dirobek untuk dilihat isinya. Dari 3 koper yang kami bagasikan, hanya koper saya yang dibuka. Mungkin mereka heran kali ya, melihat isi bagasi yang penuh dengan bumbu instan dan sambal. Haha.. Maklum, dari Indonesia yang dibawa ya cuma bumbu dan makanan saja. Untungnya tidak ada yang diambil.

Yak, jadi sekian dulu postingan pertama saya tentang US. Semoga bisa istiqomah ya cerita-cerita tentang kehidupan di sini. Karena biasanya saya aktif nge blog lagi pas tinggal di luar negeri gini nih. (lihat postingan blog waktu di Jepang, wkwk..)

Ciao...

28 Januari 2018

Saving for Travel : Milenials Way

Sebagai orang sales, saat ini saya merasa jualan lagi susah banget. Even setelah event puasa dan lebaran, yang biasanya adalah saat belanja orang Indonesia, jualan gak terlalu bagus seperti yang diharapkan. Dan itu gak cuma kejadian buat produk susu aja, tapi hampir semua kebutuhan sehari-hari seperti sabun, shampoo, dll. Sebagai salah satu konsumen, bisa dibilang saya sendiri memang cenderung mengurangi pengeluaran yang tidak penting.

Terlebih lagi jika melihat fenomena anak muda saat ini, kayaknya bagi milenial itu gaya konsumsi kita sudah berubah, tidak lagi bisa disamakan dengan yang dulu dulu. Anak-anak milenial itu savy banget sama teknologi dan social media. Apalagi sekarang identitas diri.juga bisa dilihat dari isi social medianya. Misalnya Instagram, path, yang pada akhirnya required people to "eksis" supaya gak dibilang ketinggalan jaman. Fitur location dan juga hastag foto orang pamer saat liburan itu akhirnya pun jadi konten wajib jika ingin dianggap keren bagi milenial, akhirnya berbagai cara pun dilakukan supaya tetap eksis jalan-jalan nambah konten instagram.

Bagi sayapun, hal itu menjadi sebuah kebutuhan. Oleh karena itu saya mulai mengurangi pengeluaran-pengeluaran tidak penting dan menjadi semakin selektif dalam membeli barang. Dengan mengurangi pembelian, maka jumlah uang yang dapat ditabung akan menjadi lebih banyak. Artinya saya bisa jalan-jalan lebih sering juga.

Di tahun 2017 ini, saya berkesempatan untuk menjelajahi beberapa tempat yang belum pernah saya datangi :

1. Bira Beach, Bulukumba, Sulawesi Selatan

2. Danau Kelimutu, Ende, NTT
3. Labuan Bajo, Flores, NTT

Saya rasa, bahwa jalan-jalan bukan lagi dilihat sebagai kebutuhan tresier, namun saat ini menjadi kebutuhan sekunder. Dimana tiap bulan atau tiap tahun, kita menyimpan uang untuk jalan-jalan melihat ciptaan Allah yang Maha besar.

Yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa kebutuhan akan jalan-jalan ini harus diakomodir dengan jalan yang benar juga. Jangan sampai demi bisa eksis, maka dipaksakan jalan-jalan sampai harus ngutang. Sebaiknya uang jalan-jalan itu digunakan dari tabungan. Buatlah satu account tabungan yang khusus untuk jalan-jalan, dengan begitu, setiap bulan kita akan semakin semangat untuk menyisihkan sebagian dari uang kita untuk mewujudkan keinginan itu.

Trend di luar negeri sana, orang living on a backpack mode, atau nomaden, berpindah ke area yang lebih kecil, hidup sederhana untuk jalan-jalan. Backpack around the world. Menurut saya itu adalah sebuah keputusan yang berani. Atau, biasanya anak-anak SMA di Eropa, setelah lulus akan backpacking ke asia selama beberapa minggu atau bulan sebelum mereka memutuskan memasuki dunia kerja. Saya rasa, itu adalah hal yang baik, karena itu membuat kita semangat dalam bekerja.

Jujur, saya pun bekerja untuk bisa jalan-jalan. Karena hal itu adalah sebuah refreshment ketika kita melihat dunia yang berbeda dari keseharian, mencoba makanan dan minuman baru, belajar kebudayaan baru. Pada saat itulah, biasanya kita akan mensyukuri akan nikmat yang selama ini biasa kita dapatkan, ataupun merasa kecil karena di luar sana kita bisa melihat kebesaran Allah dan ciptaannya.

Jadi, kemana kita pergi di tahun 2018?

Just rambling

 Pernah gak sih kalian tu ngerasa bingung.. Mau ngapain ya? Duh bosan..  Trus berakhir dengan scrolling ig gak jelas.. Itulah yang kulakukan...