waw.. it's been a long time. Ada banyak sekali cerita dan kejadian yang terjadi selama beberapa bulan terakhir. Mulai dari kelas kewirausahaan dengan Giraffe Gift project, my family trip to Japan, UAS di semester 6 dan terakhir adalah KKN.
Ya, saya baru saja kembali ke Yogya setelah berada kurang lebih 40 hari di tanah Pelalawan, Riau. Desa ini adalah desa kecil yang berjarak tempuh 2 jam dari Pekanbaru. Pada awalnya saya meragu untuk berangkat KKN. Di hari-hari terakhri menjelang keberangkatan, saya merasa sangat malas untuk berangkat. Ada ketakutan dalam diri saya untuk meninggalkan rumah dan memulai hidup di suatu tempat yang tidak dikenal. Saya belum pernah sama sekali ke Pekanbaru. Jadi bisa dikatakan itu adalah pengalaman pertama saya di negeri orang.
Selama 4 hari pertama sampai di sana, saya menjadi sangat bersyukur atas kehidupan saya di rumah. Kami, para mahasiswa KKN hidup di rumah salah seorang teman kami, Ferly. Saya harus hidup mandiri. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya harus memasak sendiri untuk bisa makan. Dengan kompor minyak sederhana, kami harus memasak untuk 16 orang selama 2 jam.
Sebagai anak rumahan yang biasa dilayani Mbak Is. Perubahan ini cukup mengejutkanku. Bagaimana tidak, saya harus memasak, mencuci baju dan piring, hal-hal yang tidak biasa saya lakukan di rumah. Hari itu saya sungguh bersyukur atas kenikmatan sederhana yang biasa saya nikmati di rumah tersebut.
Rasa syukur pun bertambah ketika saya hidup di desa Pelalawan. Desa ini bisa dikatakan mengalami kesulitan akses. untuk menuju ke sana, kami harus menempuh perjalanan 2 jam melewati perkebunan sawit yang jalannya berlubang dan berdebu. Rasanya seperti naik kuda, capek sekali.
Desa ini juga belum mendapatkan pasokan listrik dari PLN. Listrik hanya tersedia pukul 17.30 hingga 00.30 atas subsidi dari pabrik RAPP. Otomatis, tidak ada kegiatan menonton tv di siang hari. Sinyal handphone hanya ada dari XL. Indosat dan Simpati sama sekali tidak bernyawa di desa ini.
Hal lain yang juga baru di desa ini bagi saya adalah kebiasaan penduduknya untuk mandi dan buang air di suangai. Bagi para lelaki, mereka ikut kebiasaan tersebut dengan mandi di sunagi. Sedangkan kami para wanita cukup beruntung karena rumah pondokan kami memiliki toilet dan kamar mandi setengah terbuka.
Dengan begitu terbatasnya listrik, air dan sinyal yang biasa saya nikmati di Yogya sebagai suatu hal yang lumrah membuat saya begitu menyadari betapa beruntungnya saya selama ini karena hidup dengan sebuah kenikmatan yang ternyata mahal harganya. Tidak semua orang di Indonesia bisa menikmati apa yang saya punya. Betapa terkadang saya seringkali lupa untuk bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan dan hanya terus merasa tidak puas dan meminta lebih atas hal yang tidak saya punya.
Betapa Allah masih sangat menyayangi saya hingga ia berusaha menyadarkan saya dengan sentilan yang halus ini. Semoga kita bisa mulai menghargai apa yang kita punya dan terus bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan pada kita..
# renungan kecil dari Pelalawan 2012